Reformasi Birokrasi, Sebuah Keharusan ( Lampungpost, Selasa, 13 Desember 2005)

Monday, February 15, 2010

Salah satu institusi politik yang belum tersentuh sama sekali oleh gelombang reformasi, yang berembus sejak 1998 adalah birokrasi. Wajah birokrasi kita kini masih saja bercirikan ruwet dan berbelit-belit, serta berkarakter korup, kurang profesional, bahkan gampang dipolitisasi kelompok kepentingan tertentu. Dan berbagai hal sejenisnya.

Kenyataan ini, tentunya akan berdampak pula pada agenda-agenda reformasi lainnya, yang mau tidak mau, dan suka tidak suka, juga bersentuhan dan berhubungan dengan institusi yang bernama birokrasi.

Langkah-Langkah Reformasi

Mengamati wajah birokrasi kita kini, tentu saja kita harus berpikir panjang, sangat urgen melakukan reformasi birokrasi. Kalau hal ini tidak cepat dilakukan, jangan harap wajah birokrasi ini bisa menjadi lebih baik dari yang ada kini.

Di samping itu, dengan adanya reformasi birokrasi, diharapkan akan mengubah pandangan masyarakat, bahwa birokrasi bukan lagi intitusi negara yang menakutkan dan menjijikkan ketika mereka berhubungan dengan birokrasi.

Beberapa langkah-langkah yang perlu diambil dalam mereformasi birokrasi saat ini, pertama, sebaiknya dalam merekrutmen pegawai negeri sipil (PNS) mendatang pemerintah dapat mengedepankan asas kebutuhan. Apakah kini memang dibutuhkan pegawai negeri sipil atau tidak. Dengan demikian, diharapkan tidak terjadi penumpukan pegawai di institusi tertentu. Yang nantinya, akan berdampak pula pada tidak efektif dan efisiennya, baik dari sisi kinerja pegawai maupun dari sisi anggaran.

Kedua, dalam merekrutmen pegawai, asas transparansi dan akuntabilitas publik juga perlu dikedepankan. Sering dalam setiap rekrutmen pegawai negeri sepil, pemerintah kurang transparan dan akuntabel dalam pengumuman nilai hasil tes, semestinya diumumkan kepada publik melalui media cetak, baik dalam skala nasional maupun lokal.

Ketiga, setiap rekrutmen pegawai negeri sipil pemerintah hendaknya tidak perlu membuat aturan yang diskriminatif yang bertujuan membedakan antara pegawai honorer dan bukan honorer.

Padahal, kita semua tahu semua warga negara keberadaan hidupnya dijamin Undang-Undang Dasar 1945. Di mana, mereka memiliki hak mendapatkan pekerjaan yang layak. Dalam konteks ini, hak menjadi pegawai negeri sipil. Jadi, tidak perlu ada pembedaan atau prioritas. Semua sama. Proses yang alamiahlah yang membuat mereka berhak menjadi pegawai negeri sipil (PNS).

Tentu saja, dengan pola rekrutmen semacam ini, terkesan warna nepotismenya sangat kental sekali. Jadi, dengan demikian masyarakat akan berpersepsi, kalau ingin menjadi pagawai negeri sipil tetap, terlebih dahulu harus menjadi pegawai honorer, supaya dapat diprioritaskan pemerintah.

Di samping itu, untuk menjadi pegawai negeri sipil tak usah malu-malu dan sungkan menyogok pejabat penting dan berwenang, supaya cepat menjadi pegawai negeri sipil. Bagi yang tidak punya uang dan kenalan atau saudara yang menjadi pejabat penting dan berwenang baik di pusat daerah jangan harap bisa jadi pegawai negeri sipil.

Keempat, di antara beberapa langkah-langkah reformasi birokrasi yang penulis sebutkan, yang tidak kalah pentingnya adalah bagaimana kita mengembalikan misi dan fungsi birokrasi pada kontek sebenarnya.

Birokrasi, menurut Max Weber, adalah organisasi yang rasional. Bukan irasional. Dengan karakter, bekerja sesuai dengan spesialisasi dan kompetensi masing-masing pegawai. Bukan didasarkan suka tidak suka atau kedekatan. Tapi kenyataan, inilah yang sesungguhnya sedang terjadi pada wajah birokrasi kita kini.

Birokrasi yang Otonom

Langkah selanjutnya, selain mengembalikan birokrasi pada misi dan fungsi awalnya. Perlu juga kita mengembalikan birokrasi menjadi organisasi yang mandiri, otonom, dan tidak mudah diintervensi, bahkan dimobilisasi kelompok kepentingan tertentu. Terutama dalam setiap momen pemilihan, baik pemilihan presiden maupun pemilihan kepala daerah.

Kalau ini masih terjadi, artinya birokrasi bukanlah organisasi yang mandiri dan otonom. Imbasnya, pelayanan terhadap kebutuhan-kebutuhan masyarakat akan terbengkalai. Dan lagi-lagi masyarakat yang dirugikan. Padahal, keberadaan birokrasi adalah melayani masyarakat dan bukan untuk dilayani.

Selain pendekatan struktural. Perlu juga melakukan langkah-langkah reformasi birokrasi. Pendekatan budaya juga perlu dipikirkan lebih mendalam. Apakah, buruknya performa dan wajah birokrasi kini ada kaitannya dengan budaya daerah tertentu?

Atau juga ada kaitanya dengan sisa-sisa budaya lama yang ditinggalkan kaum kolonialisme Belanda yang hampir berabad-abad menjajah bangsa kita? Di mana, budaya tersebut tetap saja menjadi rujukan dan panutan hidup masyarakat kita, baik dalam hidup berbangsa maupun bernegara.

Kalau benar ini yang terjadi, reformasi birokrasi mutlak dilakukan. Kalau tidak, jangan harap bangsa ini mampu menjadi bangsa yang bermartabat dan berdiri sejajar dengan bangsa-bangsa lain di dunia. Di manan mereka lebih dahulu maju peradabannya, baik peradaban berpikirnya maupun ekonomi, politik, hukum, pendidikan serta budaya bangsanya.(*)

0 comments:

Post a Comment