Mahalnya Ongkos Demokrasi

Monday, February 15, 2010

DEMOKRASI memang mahal, paling tidak bila mengacu pada fakta di lapangan yang menyebutkan penyelenggaran pemilihan kepala daerah terpaksa mundur dari jadwal yang ditentukan. Alasannya, anggaran pelaksanaan pemilihan itu belum disepakati pemerintah daerah.

Adapun tujuh daerah tersebut adalah Kepulauan Riau, Sumatera Barat, Jambi, Bengkulu, Kalimantan Selatan, Kalimantan Tengah, dan Sulawesi Utara.

Menurut KPU Pusat, anggaran pemilihan kepala daerah di Sumatera Barat Rp74 miliar putaran pertama dan Rp19 miliar putaran kedua belum disetujui DPRD dan belum ada kesepakatan hibah. Kepulauan Riau yang mematok anggaran Rp60 miliar juga belum ada kesepakatan, dan Sulawesi Utara dengan anggaran Rp90 miliar belum jelas.

Sedangkan Kalimantan Selatan dengan anggaran Rp86 miliar, Kalimantan Tengah dengan anggaran Rp54 miliar dari total pengajuan Rp81,4 miliar, dan Jambi dengan anggaran putaran pertama Rp49,98 miliar. (Koran Tempo, Kamis, 22-1-2010)

Besarnya anggaran untuk penyelenggaran pemilihan kepala daerah memang sebuah risiko yang harus ditanggung dalam sistem pemilihan secara langsung. Berbeda dengan sistem pemilihan yang hanya dilakukan oleh anggota Dewan. Tentu saja anggaran yang dialokasikan tidak sebesar itu.

Persoalan inilah yang kemudian membuat pengamat otonomi daerah Ryas Rasyid menyarankan agar pemilihan kepala daerah kembali dilakukan oleh DPRD. Apalagi menurut Ryas, tidak serta merta menghilangkan demokrasi lokal. Sebab, kepala daerah yang dipilih secara langsung tidak menjamin bahwa kebijakan yang dijalankannya akan lebih demokratis. (Media Indonesia, Rabu, 21-10-2009).

Saya pikir pendapat Ryas Rasyid bisa jadi benar, pemilihan kepala daerah dilakukan oleh DPRD adalah langkah yang paling tepat. Apalagi mengingat dana yang begitu besar untuk pemilihan kepala daerah. Bagaimana dengan pemilihan kepala daerah di daerah yang baru saja menjadi daerah otonomi baru yang belum memiliki anggaran sendiri?

Hal ini tentu menjadi pertimbangan agar pemilihan dikembalikan kepada anggota Dewan. Toh, terbukti selama ini, kepala daerah yang dipilih langsung oleh masyarakat kualitasnya juga tidak lebih baik dari sistem yang dipilih melalui anggota Dewan. Contohnya saja, tidak sedikit kepala daerah tersandung dengan perkara korupsi.

Ada alternatif lain yang wacanakan banyak pihak adalah kepala daerah langsung ditunjuk oleh presiden. Apalagi kepala daerah merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dengan sistem ini paling tidak akan menguatkan koordinasi antara presiden dengan kepala daerah.

Demokrasi adalah sebuah cara atau alat untuk mencapai tujuan. Bukan tujuan itu sendiri. Jika pemilihan kepala daerah dipilih secara langsung hanya membebani anggaran negera, tidak ada salahnya jika dikembalikan ke anggota dewan atau ditunjuk langsung oleh presiden. Toh, hal ini tidak akan menghilangkan unsur-unsur demokrasi.(*)


Dimuat di Harian Lampung Post

0 comments:

Post a Comment