Mengakhiri Konflik DPRD-Gubernur (Lampost, Selasa, 15 November 2005)

Monday, February 15, 2010

Drama politik berjudul "Konflik DPRD versus Gubernur Lampung" belum selesai. Tampaknya, drama politik ini akan terus bersambung. Apabila Presiden SBY sebagai pemutus kebijakan pemerintah pusat belum mengambil keputusan tegas, adil sesuai dengan keinginan masyarakat Lampung yang sekian lama dirundung ketidakpastian mengenai siapakah gubernur legitimated Provinsi Lampung. Alzier atau Sjachroedin?

Awal Konflik Konflik tersebut sesungguhnya buntut dari masih terlalu dominannya intervensi pemerintahan Megawati Soekarnoputri dalam hubungan pusat-daerah terhadap pemilihan gubernur di Provinsi Lampung. Saat itu Alzier, salah satu kandidat gubernur Lampung, terpilih oleh DPRD Provinsi Lampung tidak dilantik presiden melalui mendagri. Alasannya saat itu, Megawati yang merangkap sebagai ketua umum PDI Perjuangan dan presiden tidak merestui Alzier sebagai calon gubernur Lampung dari Partai PDI Perjuangan.

Dia merestui Oemarsono sebagai calon gubernur Lampung. Di samping itu, Alzier juga dituduh terlibat kasus-kasus besar tertentu. Keputusan pemerintahan Megawati tidak melantik Alzier saat itu membuat masyarakat diliputi ketidakpastian. Lalu sebagai gantinya, pemerintahan Megawati menunjuk pejabat sementara gubernur Lampung.

Maksudnya, supaya pemerintahan di Lampung tidak stagnan dan berhenti total sambil mempersiapkan pemilihan ulang gubernur Lampung. Pemilihan ulang yang "dipaksakan" ini akhirnya dimenangkan Sjachroedin. Sejak awal, pemilihan ulang telah diwarnai pro-kontra.

Tapi, karena besarnya intervensi pusat dan kuatnya ambisi pihak-pihak tertentu di kalangan elite politik Lampung, pemilihan ulang gubernur Lampung tetap dilakukan di sela-sela penyelenggaraan tiga Pemilu 2004. Keputusan mengadakan pemilihan ulang gubernur oleh pemerintahan Megawati, sesungguhnya bukan keputusan yang tepat. Malah menyimpan sejumlah masalah besar, rumit, dan sangat berbahaya bagi eksistensi pemerintahan di Lampung. Terbukti kemudian, ketika Mahkamah Agung memenangkan gugatan Alzier terhadap mendagri. Nah, dari sinilah dimulainya konflik baru.

Menyikapi keputusan MA tersebut, DPRD Lampung secara otomatis tidak lagi mengakui keberadaan Gubernur Lampung melalui SK No. 15 Tahun 2005. Akibatnya, DPRD tidak dapat lagi bekerja sama dengan gubernur sebagai mitra kerja yang sejajar. Fungsi-fungsi ketatanegaraan dan pemerintahan dari kedua lembaga pun tersebut menjadi terbengkalai. Di sisi lain, masyarakat pun dibuat tak menentu nasibnya. Terlebih, ketika mereka setiap hari disuguhi pernyataan-pernyataan yang provokatif dan tidak mendidik dari kedua pihak yang berkonflik melalui media massa.

Solusi Ada dua pilihan solusi yang mesti diambil Presiden SBY dalam mengatasi konflik DPRD versus Gubernur yang berlarut-larut ini, yaitu melantik Alzier atau tetap mengakui Sjachroedin. Jika Alzier yang dilantik dan diakui sebagai gubernur sah lampung, Sjachroedin dan pendukungnya harus legowo dengan keputusan politik presiden itu. Sebaliknya, kalaupun Sjachroedin tetap diakui sebagai gubernur sah Provinsi Lampung ini oleh Presiden SBY. Maka, DPRD Lampung harus kembali mengakui keberadaan gubernur Lampung. Begitu juga dengan pendukung Alzier harus tetap tenang dan menjaga kondisi politik Lampung agar tetap kondusif.

Apa pun ketetapan pemerintah pusat (presiden) hendaklah dituangkan dalam bentuk keputusan yang jelas dan mengikat. Bukan sekadar surat pemberitahuan, permakluman, apalagi cuma sekadar imbauan. Kepastian dari pusat ini sangat penting. Sebab, mengharapkan pihak-pihak yang berkonflik dapat merintis jalan kompromi (mengingat politik adalah kompromi!) terasa sulit.

Tentang gagasan pemilihan ulang gubernur Lampung dari beberapa pihak, saya kira kurang tepat. Dari sisi demokrasi prosedural memang baik. Tapi, kalau ditinjau dari sisi subtansi demokrasi akan terlihat paradoks. Di samping itu, pemilihan ulang gubernur, akan memakan dana/anggaran yang cukup besar. Dari mana anggaran sebesar itu akan diambil? Apakah sudah dianggarkan di APBD kita saat ini? Belum lagi, ongkos sosial yang harus dibayar mahal masyarakat kita. Hanya karena elite-elite lebih mementingkan nafsu dan ego kekuasaannya.

Ditambah lagi, bagaimana persiapan dan mekanisme pemilihan ulang gubernur tersebut. Yang tentunya, tidak semudah membalikkan telapak tangan. Alangkah baiknya kalau anggaran pemilihan ulang gubernur tersebut difokuskan pada masalah-masalah urgen yang kini nyata-nyata dialami masyarakat kita saat ini. Misalnya saja, bagaimana membenahi keterpurukan dunia pendidikan kita, kemiskinan yang kian menggila, pengangguran yang menumpuk dan pembangunan infrastruktur lainnya yang kini jumlah sangat minim sekali.

Ini lebih baik ketimbang untuk pesta elite-elite itu. Semua itu, kini benar-benar terabaikan kedua lembaga tersebut akibat konflik yang berkepanjangan dan tak menentu itu. Elite-elite lebih mementingkan nafsu dan ego kekuasaannya daripada masyarakat yang nyata-nyata diwakilinya.(*)

0 comments:

Post a Comment