Gayus dan Patologi Birokrasi

Friday, April 16, 2010
Birokrasi, akhir-akhir menjadi perbincangan yang menarik di tengah-tengah masyarakat kita. Perbincangan tidak hanya melulu monopoli kaum politisi, teknokrat, dan akademisi. Tetapi juga kalangan rakyat biasa, seperti halnya saya.

Mulanya perbincangan ini menghangat manakala Gayus Tambunan, seorang pegawai pajak golongan IIIA, diduga menjadi makelar kasus pajak.

Bahkan di rekeningnya ia memiliki uang sebesar 25 miliar, namun hanya Rp 395 juta yang dijadikan pidana dan disita negara. Sisanya Rp 24,6 miliar tidak jelas.

Munculnya kasus ini membuat banyak orang gerah bahkan mungkin marah dan sekaligus apatis dengan perilaku aparatur birokrasi. Ada yang mengatakan bahwa reformasi birokrasi di departeman keuangan gagal.

Remunerasi (pemberian tunjangan) kepada pegawai ternyata tak memberikan hasil apa-apa. Alih-alih meningkatkan kinerja dan menjauhkan mereka dari praktik-praktik curang. Malah yang terjadi sebaliknya.

Sebenarnya patologi (penyakit) birokrasi tidak hanya terjadi di departeman keuangan saja. Patologi sudah menjangkiti seluruh struktur birokrasi di negeri ini. Bahkan birokrasi di tingkat pemerintahan daerah, dari pemprov, pemkot dan pemkab pun tak luput dari patologi birokrasi.

Makanya sangat wajar kalau kemudian ada yang mengatakan bahwa salah satu institusi politik di negeri ini yang tidak tersentuh oleh gelombang reformasi adalah birokrasi.

Tanda-tanda birokrasi yang mengalami patologi adalah bekerja selalu bertele-tele, tidak efesien dan efektif, tidak peka, kaku, dan cendrung menutup diri dari tuntutan perkembangan zaman.

Dan yang paling celaka adalah bukan menjadi pelayan. Melainkan minta dilayani. Inilah potret birokrasi kita saat ini. Maka, jangan heran jika kita berhadapan dengan birokrasi, seringkali kita dibuat jengkel dan bisa jadi muak.

Hegel, filosof Jerman, berpendapat bahwa birokrasi sebagai suatu jembatan yang menghubungkan antara antara negara (pemerintah)dengan masyarakatnya.

Adapun masyarakat itu sendiri terdiri dari kelompok-kelompok profesional, usahawan, dan lain kelompok yang mewakili bermacam-macam kepentingan particular (khusus).

Di antara keduanya itu birokrasi pemerintah merupakan medium yang dipergunakan untuk menghubungkan kepentingan patikular dengan kepentingan general.

Menurut Hegel, keberadaan birokrasi pemerintahan dijadikan sebagai mediator yang menghubungkan kedua kepentingan general (pemerintah)dan partikural (kekuatan politik dalam masyarakat).

Dengan kata lain birokrasi Hegelian menekankan pada posisi birokrasi adalah posisi yang netral terhadap kekuatan-kekuatan masyarakat lainnya.

Idealnya birokrasi memang mesti seperti itu, tapi untuk konteks Indonesia rasanya agak sulit menjadikan posisi birokrasi netral. Apalagi secara sub sistem politik, birokrasi selalu dikendalikan oleh kekuatan politik.

Misalnya saja, saat pemilihan kepala daerah, calon incumbent (kepala daerah yang masih menjabat) memiliki peluang besar untuk melakukan intervensi terhadap birokrasi.

Di luar itu tentu budaya patron- clieant yang sudah mendarah daging di tubuh birokrasi agaknya sulit dihilangkan. Budaya ini tumbuh sejak zaman penjajahan hingga kini. Maka jika kita ingin melakukan reformasi tentu tidak cukup hanya melakukan pendekatan politik.

Pendekatan budaya juga mesti di kedepankan. Supaya reformasi birokrasi bisa berjalan maksimal. Kasus Gayus barangkali bisa menjadi pintu masuk untuk melakukan reformasi birokrasi, tidak hanya di departeman keuangan, tetapi juga di seluruh struktur birokrasi di negeri ini. Semoga. (*).

0 comments:

Post a Comment