Nasib Gagasan Golkar dan PAN

Wednesday, July 14, 2010
SEBAGAI anak bangsa, saya tergoda untuk membicangkan dua gagasan yang dilontarkan dua partai politik besar: Partai Golkar dan Partai Amanat Nasional (PAN). Golkar belum lama ini melontarkan gagasan mengenai dana aspirasi, yaitu setiap daerah pemilihan (dapil) mendapatkan dana aspirasi Rp 15 miliar.

Menurut Sekjen Golkar Idrus Marham, sebenarnya bukan dana aspirasi, namun program aspirasi untuk percepatan dan pemerataan pembangunan yang langsung menyentuh desa. Tujuannnya untuk penguatan pelaksanaan otonomi daerah. Konsep besarnya, Golkar ingin membangun Indonesia dari desa.

Teknisnya, program aspirasi disalurkan ke Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) di daerah. Lalu Pemda akan menseleksi mana program yang prioritas. Dari pemda, lalu diusulkan lagi ke DPR, dan disampaikan ke Badan Anggaran.

Selanjutnya, Badan Anggaran membahasnya dengan pemerintah saat penyusunan APBN. Setelah diputuskan, dana dikembalikan ke daerah melalui APBD fungsi DPR dalam hal ini mengawal aspirasi konstituen menjadi usulan pemerintah daerah dan diusulkan ke DPR.

Dalam perkembangannya kemudian, gagasan ini ada yang mendukung dan ada juga yang menolak. Tapi, jika di hitung-hitung justru lebih banyak yang menolak dari pada mendukung. Secara tegas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menolak gagasan tersebut. Bahkan dia tidak gentar dan khawatir bilamana Golkar menarik diri dari sekretariat gabungan Koalisi Pemerintah.

"Sedikit-sedikit mengancam, saya kira kurang matang berpolitik kita. Justru adanya setgab untuk mengonsultasikan masalah itu, bukan dengan ancaman," kata SBY.

Lalu bagaimana PAN? Sekadar mengingatkan bahwa pada awal-awal bergulirnya reformasi, PAN bersama Amien Rais, sang pendirinya, mengulirkan gagasan Federalisme Indonesia yang kemudian menuai kritik tajam dari berbagai kalangan, terutama para akademisi dan politisi.

Seiringnya berjalannya waktu, gagasan tersebut tak terdengar lagi. Bahkan kemudian yang muncul adalah gagasan otonomi daerah yang dibidani Ryaas Rasyid, orang yang juga menolak konsep Federalisme yang diwacanakan oleh PAN.

Meski Ryaas Rasyid turut membidani undang-undang tentang pemerintahan daerah.Namun hari-hari ini ia merasa cemas. Pasalnya, otonomi daerah bergerak liar.Bahkan pada sebuah kesempatan ia mengatakan kepada saya bahwa otonomi daerah sudah berubah menjadi gerakan separatis.

Kembali ke PAN. Baru-baru ini, partai politik yang lahir dari rahim reformasi itu menawarkan gagasan yang tidak baru tetapi sangat penting untuk didiskusikan. Gagasan tersebut adalah konfederasi, yakni konfederasi sebelum pemilu dan sesudah pemilu.

Dalam perspektif PAN, gagasan konfederasi berawal karena PAN merasa koalisi saat ini tidak efektif. Partai berlambang matahari ini merasa koalisi hanya untuk menggerogoti kekuasaan. Karena itu PAN ingin membangun konfederasi seperti di Malaysia dengan Barisan Nasional-nya.

Apalagi, usulan kenaikan ambang batas partai dari 2,5 persen menjadi 5 persen semakin mengancam suara partai politik kecil. Maka akan ada suara hilang dan terbawa. Maka kalau ditotal akan ada 39 persen. Ini suara sia-sia.

Dua gagasan konfederasi PAN adalah konfederasi murni (sebelum pemilu) dan quasi konfederasi (sesudah pemilu). Konfederasi murni akan membuat partai politik berkompromi siapa calon legislatif yang akan diusung. Sedangkan quasi konfederasi menuju bagaimana kesepakatan partai politik atas kepentingan kekuasaan.

Lalu bagaimana respon terhadap gagasan dari PAN ini? Adalah Arbi Sanit, pengamat politik dari Universitas Indonesia, yang menolak mentah-mentah gagasan ini. Bagi Arbi, ide konfederasi ala PAN, tidak berbeda dengan koalisi."PAN jangan mikir untuk diri sendiri, tapi untuk negara," kata Arbi Anit.

Arbi menilai, konfederasi dua jenis yang ditawarkan PAN akan berhasil jika pelaksanaan pemilihan umum legislatif dan presiden dilakukan serentak. Jika tidak maka konfederasi saat pemilihan legislatif rentan dirombak sesudah Pilpres.

Sampai di sini kemudian muncul pertanyaan, akankah gagasan ini senasib dengan gagasan yang diusung Golkar atau gagasan Federalisme? Bagi saya sebagai negara yang menganut demokrasi tentu saja fenomena ini adalah suatu yang positif.

Intinya, siapapun boleh menawarkan gagasan, ide-ide kepada publik sepanjang itu masih dalam konteks wajar. Tinggal bagaimana masyarakat menilai dan menyikapinya.(*)

0 comments:

Post a Comment