Gelombang Demokrasi Tak Mampir ke Myanmar

Tuesday, March 30, 2010

Gelombang demokrasi yang menerpa negara-negara Asia Tenggara benar-benar tidak mampir ke Myanmar.Sehingga negara ini masih saja dikuasai oleh Rezim Militer hasil kudeta tahun 1962.Praktek-praktek kekuasaan yang otoriter dan militeristik dari Rezim Militer justru mengundang gelombang protes tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga dari luar negeri.Sayang semua protes tersebut dianggap angin lalu oleh rezim yang berkuasa.

Salah seorang yang getol menentang kekuasaan rezim militer adalah Auang San Suu Kyi seorang aktivis prodemokrasi Myanmar, pemimpin National Leaque for Democracy (Persatuan Nasional untuk Demokrasi). Dia kemudian memperoleh penghargaan Nobel Perdamaian tahun 1991 karena berjuang mempromosikan demokrasi di negaranya tanpa menggunakan kekerasan dalam menentang kekuasaan rezim militer.

Ayah Auang San Suu Kyi adalah Aung San, orang yang berjasa dalam merundingkan kemerdekaan Myanmar dari Inggris pada tahun 1947. Naas baginya, ia kemudian dibunuh oleh saingannya pada tahun yang sama.

Sementara ibunya, Khin Kyi (khin kyi ma), memperoleh kehormatan sebagai tokoh politik dalam pemerintahan Burma yang baru terbentuk. Khin Kyi Ma ditunjuk sebagai duta besar Burma di India pada tahun 1960.

Kini Auang San Suu Kyi harus mendekam dalam tahanan rumah selama 14 tahun dari 20 tahun hukuman yang dijatuhkan rezim. Tahun lalu, hukumannya ditambah 18 bulan setelah dia kedapatan menerima seorang tamu dari Amerika tanpa izin. Sang tamu mendatangi rumahnya yang terletak di tepi danau dengan cara berenang.

Tahun 2009 lalu, Mahkamah Agung Myanmar setuju untuk meninjau kembali tambahan penahanan rumah pemimpin gerakan pro demokrasi Aung San Suu Kyi. Keputusan tersebut menyusul surat permohonan pengacara Suu Kyi yang disampaikan beberapa waktu lalu untuk membatalkan keputusan masa tahanan rumah yang selama ini dijalani.

Pada akhir November tahun ini rezim militer Myanmar bakal menggelar pemilu. Meski demikian Partai oposisi pimpinan Aung San Suu Kyi, National League for Democracy(LND), memutuskan untuk tidak mendaftar pemilu Myanmar. Pemilu ini merupakan yang pertama digelar oleh pemerintahan militer di negara tersebut sejak pemilu Mei 1990.

Di mana LND yang beroposisi, saat itu, memperoleh kemenangan sangat besar yang mengagetkan dengan memenangkan 392 kursi dari 485 kursi yang diperebutkan di Majelis Nasional; Partai Kesatuan Nasional yang didukung militer hanya memenangkan 10 kursi. Selama kampanye itu pemimpin LND dan 400 orang aktivisnya ditahan dan partai tersebut dihadapan pada berbagai pembatasan dan gangguan. Sayang meskipun partai oposisi yang dipimpin Aung San Suu Kyi menang, rezim militer yang tidak mau menyerahkan kekuasaannya.

Ada beberapa alasan mengapa Aung San Suu Kyi dan partainya tidak tertarik ikut pemilu, pertama undang-undang pemilu tersebut justru dirancang untuk memperkuat rezim militer dan di bawah undang-undang pemilu ini, bila LND mendaftar pemilu, partai tersebut harus mengusir Suu Kyi keluar dari Myanmar.

Sampai di sini kemudian muncul pertanyaan seberapa pentingkah pemilu bagi rezim militer dan oposisi prodemokrasi yang dimpin Aung San Suu Kyi? Untuk menjawab pertanyaan ini saya agak sependapat dengan Samuel P Huntington penulis buku The Third Wave: Democratization in the Late Twentieth Century, 2001).

Dia menjelaskan, pemilihan umum merupakan cara kerja demokrasi. Dalam gelombang ketiga pemilu juga merupakan suatu cara untuk memperlemah dan mengakhiri rezim-rezim otoriter. Pemilu adalah alat serta tujuan demokratisasi. Demokratisasi diwujudkan oleh para penguasa otoriter yang, karena sesuatu alasan, berupaya menyelenggarakan pemilu, dan kelompok-kelompok oposisi yang mendesakkan penyelenggaraan pemilu berpartisipasi di dalamnya.

Pelajaran dari gelombang ketiga, kata Samuel, adalah bahwa pemilu bukan hanya merupakan kehidupan demokrasi, tetapi kematian rezim demokrasi. Ketika legitimasi kinerja para penguasa otoriter merosot, mereka sering mendapat tekanan dan sekaligus insentif yang semakin besar untuk mencoba memperbarui legitimasi mereka melalui pemilu.Para penguasa mensponsori pemilu karena percaya bahwa pemilu itu akan memperpanjang masa hidup rezim mereka atau kekuasaan teman-teman mereka.

Untuk kasus Myanmar saya memprediksi bahwa rezim militer akan tetap berkuasa untuk beberapa tahun ke depan. Soalnya pemilu yang bakal digelar November tahun ini sudah pasti dimenangi oleh mereka. Apalagi undang-undang pemilu mereka yang merancang.Wajar kalau kemudian Aung San Suu Kyi dan partainya tidak ikut pemilu. Dengan demikian, maka impian untuk melihat Myanmar berubah menjadi negara demokrasi yang lepas dari rezim militer masih jauh. Mungkin gelombang-gelombang demokrasi berikutnya yang akan mengilas rezim militer Myanmar.Semoga.

0 comments:

Post a Comment