Potret Buram Kebebasan Pers Kita

Thursday, October 21, 2010
KEBEBASAN pers di Indonesia kini menunjukkan tanda-tanda yang cukup memprihatinkan. Paling tidak hal ini ditunjukkan oleh menurunnya indeks kebebasan pers Indonesia yang turun peringkatnya dari 101 menjadi 117.

Dalam laporannya, Reporter Without Borders, organisasi nonpemerintah internasional yang melakukan penelitian mengenai dan mendukung kebebasan pers, seperti yang ditulis  Tempo Interaktif, Rabu, 20 Oktober 2010, menunjukkan bahwa skornya kebebasan pers Indonesia 35,83. Angka itu adalah angka terendah atau sama saat kepemimpinan Megawati Soekarno Putri yakni di peringkat 117 dengan skor 37,75.

Bahkan, peringkat  Indonesia kalah dengan negara-negara kecil seperti Timor Leste (peringkat ke-94), Mauritania (95), dan Kuwait (86). Tak hanya itu, Indonesia pun kalah dalam soal kebebasan pers dengan negara-negara Afrika Selatan seperti Niger (peringkat ke-106), Djibouti (110), Kenya (74).

Sementara negara-negara yang memiliki kebebasan pers yang bagus adalah negara-negara di kawasan Eropa utara. Finlandia, Islandia, Belanda, Norwegia, Swedia, Swiss adalah negara paling bebas persnya. Indeks Kebebasan Pers enam negara itu paling tinggi. Skornya 0,00.

Tahun lalu negara-negara itu juga menjadi negara paling bebas persnya. Mereka melindungi wartawan, media dari gugatan hukum. Di Swedia, misalnya, mereka punya Press Freedom Act yang melindungi wartawan.

Survei itu juga menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi bukanlah jaminan persnya akan bebas. Cina misalnya ada di peringkat 171 meskipun pertumbuhan ekonomi mereka tinggi. Cina masih melakukan sensor dan memenjarakan wartawan.

Terkait soal kebebasan pers ini, hari-hari ini kita dihadapkan oleh persoalan yang cukup membahayakan masa depan kebebasan pers bangsa ini yaitu adanya dugaan intervensi Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar terhadap redaksi Liputan 6 SCTV menayangkan program investigasi Sigi berjudul "Bisnis Seks di Balik Jeruji Penjara".

Menurut Aliansi Jurnalis Independen (AJI), program Sigi itu semula akan ditayangkan pada Rabu lalu pukul 23.00 WIB. Namun, karena ada intervensi dari Patrialis kepada petinggi SCTV, redaksi Liputan 6 pun membatalkan tayangan itu.

Menurut AJI Tindakan itu melanggar Pasal 4 (ayat 2) UU Pers Nomor 40 Tahun 1999. Pasal itu berisi ketentuan bahwa terhadap Pers Nasional tak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.

Komisi Penyiaran Indonesia menegaskan, tayangan Sigi tak boleh dilarang karena merupakan bentuk kontrol sosial.

Kasus ini tentu hanya salah satu contoh kasus yang mengancam kebebasan pers. Tentu masih banyak kasus lainnya, semisal, kasus pembunuhan kontributor SUN TV, Ridwan Salamun,  di Ambon, Maluku.

Ridwan Salamun tewas ketika meliput pertikaian antara warga Kampung Baru, dengan warga Kampung Banda Ely, Desa Fiditan, Kecamatan Dullah Utara, Kota Tual, Maluku, pada 21 Agustus lalu.

Wartawan SUN TV tersebut, tewas setelah dibacok pada bagian kepala dan leher. Setelah terkapar, ayah satu putra itu baru dievakuasi dari tempat kejadian perkara (TKP) dua jam kemudian. Ia pun tewas di jalan umum perbatasan kedua kampung tersebut.

Dengan adanya fakta ini, tentu tidak ada cara lain agar kebebasan pers tetap ada yakni melakukan perlawanan terhadap pihak-pihak yang ingin memberhangus kebebasan pers. Kalau ini tidak dilakukan tentu kehidupan pers bangsa ini akan kembali ke masa kegelapan (orde baru).

0 comments:

Post a Comment