SELAMA 1999-2009 terdapat 205 daerah pemekaran baru, yang terdiri atas tujuh provinsi dan 198 kabupaten/kota. Namun, hanya 20 persen daerah pemekaran baru yang berhasil, sedangkan 80 persen dianggap gagal.
Penambahan daerah otonom baru itu justru menambah beban keuangan negara. Setiap tahun, dana alokasi umum (DAU) yang dikucurkan pemerintah pusat untuk membiayai kebutuhan dasar, terutama gaji pegawai, terus bertambah.
Daerah pemekaran baru juga berdampak pada berkurangnya proporsi DAU bagi daerah lain.
Beban lain yang harus ditanggung pemerintah pusat adalah penambahan dana alokasi khusus. Dana tersebut diberikan salah satunya untuk membantu menyediakan kantor-kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Sementara peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik yang menjadi tujuan pemekaran daerah belum tercapai. Dana bantuan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah induk, biasanya habis untuk memberikan gaji kepada pegawai dan pejabat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru.
Merespon fenomena ini kemudian pemerintah mengambil kebijakan moratorium pemekaran daerah. Namun sayang, wacana ini tetap tak diindahkan masyarakat. Buktinya usulan pemekaran daerah yang diterima Dewan Perwakilan Rakyat kini tetap marak.
Hingga kini Komisi II DPR RI menerima sekitar 85 usulan pembentukan daerah otonom baru. Padahal, Maret 2010, Komisi II baru menerima 60 usulan pembentukan daerah otonom baru, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Usulan pembentukan daerah otonom baru, antara lain, berasal dari penduduk Surakarta, Jawa Tengah, dan Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Warga mengusulkan Surakarta menjadi provinsi sendiri yang terpisah dari Jateng. Provinsi Surakarta diusulkan terdiri dari beberapa kabupaten/kota, seperti Solo, Klaten, Salatiga, Boyolali, Sragen, dan Sukoharjo.
Adapun masyarakat Sumbawa mengusulkan Pulau Sumbawa menjadi provinsi sendiri, terpisah dari NTB. Provinsi Pulau Sumbawa adalah gabungan dari lima kabupaten/kota, yakni Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima.
Selain surat usulan daerah otonom baru, Komisi II juga kerap menerima perwakilan masyarakat yang menginginkan usul pemekaran itu segera direalisasikan.
Penggabungan Daerah
Maraknya usul pemekaran daerah di Indonesia justru bertentangan dengan kondisi di negara maju, seperti Jepang dan Australia, yang justru sering melakukan penggabungan daerah. Penggabungan membuat efisiensi ekonomi sehingga sumber daya ekonomi di daerah dapat digabungkan untuk pelayanan publik yang lebih baik.Daerah pemekaran baru juga berdampak pada berkurangnya proporsi DAU bagi daerah lain.
Beban lain yang harus ditanggung pemerintah pusat adalah penambahan dana alokasi khusus. Dana tersebut diberikan salah satunya untuk membantu menyediakan kantor-kantor Satuan Kerja Perangkat Daerah.
Sementara peningkatan kesejahteraan masyarakat dan pelayanan publik yang menjadi tujuan pemekaran daerah belum tercapai. Dana bantuan, baik dari pemerintah pusat maupun daerah induk, biasanya habis untuk memberikan gaji kepada pegawai dan pejabat, termasuk anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah baru.
Merespon fenomena ini kemudian pemerintah mengambil kebijakan moratorium pemekaran daerah. Namun sayang, wacana ini tetap tak diindahkan masyarakat. Buktinya usulan pemekaran daerah yang diterima Dewan Perwakilan Rakyat kini tetap marak.
Hingga kini Komisi II DPR RI menerima sekitar 85 usulan pembentukan daerah otonom baru. Padahal, Maret 2010, Komisi II baru menerima 60 usulan pembentukan daerah otonom baru, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota.
Usulan pembentukan daerah otonom baru, antara lain, berasal dari penduduk Surakarta, Jawa Tengah, dan Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). Warga mengusulkan Surakarta menjadi provinsi sendiri yang terpisah dari Jateng. Provinsi Surakarta diusulkan terdiri dari beberapa kabupaten/kota, seperti Solo, Klaten, Salatiga, Boyolali, Sragen, dan Sukoharjo.
Adapun masyarakat Sumbawa mengusulkan Pulau Sumbawa menjadi provinsi sendiri, terpisah dari NTB. Provinsi Pulau Sumbawa adalah gabungan dari lima kabupaten/kota, yakni Kabupaten Sumbawa, Sumbawa Barat, Dompu, Bima, dan Kota Bima.
Selain surat usulan daerah otonom baru, Komisi II juga kerap menerima perwakilan masyarakat yang menginginkan usul pemekaran itu segera direalisasikan.
Penggabungan Daerah
Sebaliknya, pemekaran daerah umumnya terjadi di negara dunia ketiga dengan alasan demokratisasi dan pendekatan pelayanan publik.
Namun, faktor pendorong pemekaran daerah di Indonesia sering kali berbeda dengan kondisi riil. Pada awal pemekaran, warga dan elite menginginkan pelayanan publik di daerahnya maju dan terciptanya demokratisasi lokal. Namun, pemekaran justru menghasilkan oligarki kekuasaan lokal sebagai akibat usulan pemekaran yang juga elitis.
Terbaliknya kondisi itu disebabkan di daerah pemekaran umumnya warga masih apolitis dan jumlah kelas menengahnya sangat terbatas sehingga kurang bisa mengontrol elite yang lain.
Peneliti Bidang Perkembangan Politik Lokal Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mardyanto Wahyu Tryatmoko, menilai banyak daerah otonom, baik pemekaran maupun daerah induk, yang sebenarnya layak untuk digabungkan karena tingginya tingkat korupsi, kentalnya oligarki kekuasaan, daya saing yang rendah, hingga ketergantungan daerah pada dana alokasi umum dan dana alokasi khusus dari pemerintah pusat.
Pengaruh atas keberadaan daerah otonom yang tidak layak itu bukan hanya terasa di tingkat lokal. Daerah yang tidak layak itu menyedot dana APBN sehingga mengurangi alokasi dana untuk kepentingan publik. Perkembangan daerah baru juga membuat terjadinya ledakan jumlah pegawai yang pasti akan semakin membebani anggaran negara.
Mardyanto mengakui, penggabungan akan menimbulkan resistensi dari elite politik, lokal ataupun nasional, yang diuntungkan dengan pemekaran. Karena itu, wacana penggabungan daerah perlu didorong lewat aspirasi langsung dari rakyat.
Sistem insentif juga perlu diberikan kepada rakyat yang ingin daerahnya digabung dengan daerah lain. Seperti di Jepang, warga yang bersedia daerahnya digabung akan diberi insentif khusus berupa kemudahan dalam berutang atau alokasi pembagian pajak yang lebih besar dibandingkan dengan daerah lain.(*)
0 comments:
Post a Comment